Kamis, 09 Juli 2015

Sektor Properti Terhindar dari Karam karena Kelas Menengah

Rumah Hunian

Setelah kelas atas dihantam kebijakan pajak penjualan barang mewah (PPnBM), dan kelas bawah didera berbagai masalah macam tingginya ongkos konstruksi, harga lahan, dan minim dukungan infrastruktur penunjang, kelas menengah masih bertahan dan jadi andalan.

Kelas menengah, menurut Managing Director Lamudi Indonesia, Steven Ghoos, adalah penopang sektor properti di Indonesia. Kelas ini punya daya beli dan butuh properti. Terlebih, banyak dari kalangan menengah ini yang belum memiliki rumah.

"Jadi, mereka adalah sebagian besar end user atau pembeli rumah pertama. Ini potensi dan peluang di saat kelas atas didera berbagai kebijakan, dan kelas bawah yang tergerus daya belinya," tutur Steven, Kamis (2/7/2015).

Selain itu, kata Steven yang mengutip riset Boston Consulting Group, kelas menengah Indonesia merupakan yang terbanyak di kawasan regional Asia Tenggara yakni sekitar 141 juta pada tahun 2020 mendatang.

"Konsumsinya juga kuat. Ditambah lagi penurunan suku bunga Kredit Pemilikan rumah (KPR) akan semakin memperkuat keinginan kelas menengah membeli rumah," ujar Steven.

Sementara bagi pengembang (developer), percepatan pembangunan infrastruktur akan membuka peluang tumbuhnya kawasan-kawasan baru yang bisa digarap. Kemungkinan dibukanya keran kepemilikan orang asing juga sebagai peluang yang memungkinkan pengembang melakukan penetrasi pasar baru.

Peluang investasi

Riset Lamudi menunjukkan, dalam berbagai jenis tipe properti, Jakarta masih memiliki harga rata-rata tertinggi. Populasi yang setiap tahunnya semakin bertumbuh dengan kemajuan ekonomi, sukses membuat Jakarta semakin menarik. Namun, semakin menyusutnya pasokan lahan, membuat harga rata-rata properti di Jakarta meroket hingga Rp 25 juta per meter persegi.

Karena itulah, hunian vertikal semakin meraih momentum dengan bertumbuhnya populasi di kota ini. Di Jakarta, harga rata-rata beli apartemen berkisar di antara Rp 14,556 juta hingga Rp 31,250 juta per meter persegi. Jakarta Selatan masih mencatat harga rata-rata tertinggi untuk apartemen karena lokasinya yang populer dan strategis.

Namun menyewa apartemen di Jakarta Pusat akan membuat Anda mengeluarkan biaya yang lebih tinggi dibanding area lain di Jakarta. Harga rata-rata sewa apartemen di Jakarta selama setahun lalu adalah Rp 1 juta-Rp 2,2 juta per meter persegi.

Sementara rumah, masih menjadi jenis hunian yang paling banyak dipilih orang Indonesia. Harga rata-rata beli rumah di Jakarta adalah berkisar antara Rp 10,23 juta-Rp 22 juta per meter persegi. Angka ini merupakan tiga kali harga rata-rata di kota di Jawa lainnya seperti Malang, Semarang dan Sleman.

Jika Anda berencana memulai bisnis di ibukota, Jakarta Barat dapat menjadi pilihan yang tepat dengan harga sewa per tahun rata-rata Rp 625.000 per meter persegi. Namun dengan persediaan melimpah, Bekasi juga menjadi incaran karena harga rerata sewa propertinya terendah di Indonesia yakni Rp 11,2 juta per meter persegi.

Bagaimana kota-kota lainnya? Meski terjadi perlambatan, kota-kota besar lain mulai menunjukan harga yang kompetitif dengan Jakarta. Surabaya contohnya. Sebagai kota terbesar kedua, kota ini tampil sebagai salah satu tujuan investor untuk pembangunan properti.

Sedangkan Malang dan Semarang telah menjadi alternatif untuk membangun bisnis. Demikian halnya dengan Bandung dan Denpasar yang menunjukan harga kompetitif bagi ruang komersial seiring dengan semakin populernya sektor pariwisata di kota-kota ini.

(Sumber : kompas.com, 5 Juli 2015)

Inikah Saat yang Tepat Beli Properti?

Apartemen

Sudah menjadi "pola baku" saat penjualan mobil turun sebesar 16,6 persen, maka akan diikuti oleh anjloknya penjualan properti. Bahkan angka kejatuhan properti jauh lebih tinggi yakni 50 persen sebagaimana diakui Ketua DPP REI Eddy Hussy beberapa waktu lalu.

Kalau sudah begitu, bagaimana kemudian nasib sektor properti?

Bagi pengembang, menurut CEO Leads Property Indonesia, Hendra Hartono, strategi terbaik adalah tetap berproduksi. Dengan membangun, peluang untuk mendapatkan keuntungan akan terbuka lebar.

"Saat ini di tengah kondisi perlambatan ekonomi, pembeli mungkin sedikit. Tapi tahun mendatang, saat produk yang dipasarkan sudah terserap sepertiga atau separuhnya, pengembang bisa mematok harga tinggi," ujar Hendra kepada Kompas.com, Ahad (5/7/2015).

Hendra melanjutkan, pertimbangannya adalah pasar masih tetap ada, baik kelas bawah, menengah, atas, bahkan kelas premium. Namun begitu, para pengembang juga harus memperhatikan jumlah unit yang akan dibangun dan dipasarkan. Membangun ribuan unit saat ini sama halnya dengan bunuh diri. Apalagi jika kemudian yang membeli kebanyakan investor, itu sudah dalam kondisi "alarm" atau patut diwaspadai. Pasalnya, jika permintaan lebih banyak berasal dari investor boleh dikatakan merupakan permintaan semu.

"Pada akhirnya harga akan tertekan karena pasar sekundernya tidak bergerak akibat dikuasai investor," ucap Hendra.

Oleh karena itu, lanjut dia, bangun dan pasarkanlah properti dengan jumlah unit yang sesuai kondisi saat ini. Duaratus unit untuk satu kompleks apartemen sudah sangat memadai bagi pasar untuk menyerapnya.Sementara bagi calon konsumen, kata Hendra, sekarang justru merupakan saat yang tepat membeli properti. Alasannya, banyak pengembang yang menawarkan gimmick pemasaran, diskon harga jual, dan kemudahan termin pembayaran. Contohnya saja PT Metropolitan Land Tbk (Metland). Menurut Direktur Metland, Amran Nukman, pihaknya memberikan gimmick atau hadiah Lebaran kepada calon konsumen. Alih-alih menaikkan harga jual.

"Kami memberikan voucher Metland Card. Ini bisa dipakai beli elektronik, atau keperluan rumah tangga di Mal Metropolitan atau Grand Metropolitan," buka Amran kepada Kompas.com, Selasa (7/7/2015).

Amran tak menampik, saat ini sulit menaikkan harga jual. Pasalnya, konsumen tidak akan menampakkan minatnya membeli properti yang tengah dipasarkan. Karena itulah, pihaknya memberikan gimmick untuk calon konsumen.Namun, tambah Amran, saat pengembang kesulitan menaikkan harga jual hingga tiga bulan ke depan, justru menjadi momentum yang bagus buat calon konsumen membeli properti.

Kelas mewah
Untuk kelas mewah, menurut Hendra, masih ada pasarnya yang didominasi end user atau pengguna akhir. Melambatnya ekonomi, bagi kalangan tajir ini tidak terlalu berdampak. Kalau sudah suka dengan lokasi, denah, dan spesifikasinya, mereka akan langsung membeli.

"Bahkan kalau income-nya dalam dollar AS atau dollar Singapura, mereka bisa membeli properti premium yang banyak ditawarkan di Jakarta saat ini. Ada beberapa pengembang yang menawarkan diskon 30 persen hingga 35 persen dari harga penawaran. Ini sangat menarik," tandas Hendra.

Beberapa properti premium yang saat ini memenuhi pasar Jakarta, antara lain Anandamaya Tower, Langham Residences, Senopati Suites, Verde Apartment, Casa Domaine, dan Thamrin Nine.

(sumber : kompas.com, selasa 7 Juli 2015))